Pendidikan Tamansiswa berciri khas
Pancadarma, yaitu Kodrat Alam (memperhatikan sunatullah), Kebudayaan
(menerapkan teori Trikon), Kemerdekaan (memperhatikan potensi dan minat
maing-masing indi-vidu dan kelompok), Kebangsaan (berorientasi pada keutuhan
bangsa dengan berbagai ragam suku), dan Kemanusiaan (menjunjung harkat dan
martabat setiap orang).
B. REAKSI PEMERINTAH KOLONIAL TERHADAP TAMANSISWA
Taman Siswa bisa dianggap sebagai tempat
pemupukan kader masyarakat Indonesia dimasa mendatang dan yang sudah pasti akan
berusaha pula untuk menumbangkan kekuasaan kolonial. Oleh karena itu pemerintah
kolonial berusaha untuk menghalang-halangi perkembangan Taman Siswa khususnya,
dan sekolah-sekolah partikelir umumnya. Sejak itu, Taman Siswa menghadapi
perjuangan asasi, melawan politik pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1931
timbul pendapat dikalangan orang Belanda yang memperingatkan pemerintah, bahwa
apabila tidak diadakan peninjauan kembali, Taman Siswa akan menguasai keadaan
dalam tempo sepuluh tahun.
Pemerintah konservatif Gubernur Jenderal
de jonge menyambut kegelisahan orang Belanda dengan mengeluarkan “ordonansi
pengawasan” yang dimuat dalam Staatsblad no. 494 tanggal 17 September 1932. Isi
dan tujuan dari ordonansi itu ialah memberi kuasa kepada alat-alat pemerintah
untuk mengurus wujud dan isi sekolah-sekolah partikelir yang tidak dibiayai
oleh negeri. Sekolah partikelir harus meminta izin lebih dahulu sebelum dibuka
dan guru-gurunya harus mempunyai izin mengajar. Rencana pengajaran harus pula
sesuai dengan sekolah-sekolah negeri, demikian juga peraturan-peraturannya.
Ordonansi itu menimbulkan perlawanan umum dikalangan masyarakat Indonesia dan
dimulai oleh prakarsa Ki Hajar Dewantara yang mengirimkan protes lewat telegram
kepada Gubernur Jenderal di Bogor pada tanggal 1 Oktober 1932.
Pada tanggal 3 Oktober 1932 Ki Hajar
Dewantara mengirimkan maklumat kepada segenap pimpinan pergerakan rakyat, dan
menjelaskan lebih lanjut sikap yang diambil Taman Siswa. Aksi melawan ordonansi
ini disokong sepenuhnya oleh 27 organisasi, antara lain Istri sedar, PSII,
Dewan Guru Perguruan Kebangsaan di Jakarta, Budi Utomo, Paguyuban Pasundan,
Persatuan Mahasiswa, PPPI, Partindo, Muhammadiyah, dan lain-lainnya. Golongan
peranakan Arab dan Tionghoa juga menyokong aksi ini. Pers nasional tidak kurang
menghantam ordonansi itu melalui tajuk rencananya. Mohammad Hatta sebagai
pemimpin Pendidikan Nasional Indonesia, menganjurkan supaya mengorganisasi aksi
yang kuat. Pada bulan Desember 1932, Wiranatakusumah, anggota Volksraad mengajukan
pertanyaan pada pemerintah dan disusul pada bulan Januari 1933 dengan sebuah
usul inisiatif. Usul inisiatif yang disokong oleh
kawan-kawannya di Volksraad, berisi: menarik kembali ordonansi yang
lama serta mengangkat komisi untuk merencanakan perubahan yang tetap. Budi
Utomo dan Paguyuban Pasundan mengancam akan menarik wakil-wakilnya dari
dewan-dewan, apabila ordonansi ini tidak dicabut pada tanggal 31 Maret 1933.
Juga dikalangan para ulama aksi melawan ordonansi sekolah liar ini mendapat
sambutan, terbukti dengan adanya rapat-rapat Persyarikatan Ulama di Majalengka
dan Ulama-ulama Besar di Minangkabau. Pemerintah terkejut akan tekad perlawanan
akan masyarakat Indonesia dan setelah mengeluarkan beberapa penjelasan dan
mengadakan pertemuan dengan Ki Hajar Dewantara, akhirnya dengan keputusan
Gubernur Jenderal tanggal 13 Februari 1933 ordonansi Sekolah liar diganti
dengan ordonansi baru.
Perlawan Taman Siswa terhadap ordonansi
sekolah liar merupakan masa gemilang bagi sejarahnya, yang juga berarti
mempertahankan hak menentukan diri sendiri bagi bangsa Indonesia. Sesudah itu
Taman Siswa akan mengadakan lagi perlawanan terhadap peraturan pemerintah
kolonial yang dapat dianggap merugikan rakyat. Pada tahun 1935 Taman Siswa
mempunyai 175 cabang yang tersebar di sekolahnnya ada 200 buah, dari mulai
sekolah rendah hingga sekolah menengah.
C. SIKAP TAMAN SISWA PADA REVOLUSI DAN INDONESIA MERDEKA
Pada saat setelah Indonesia merdeka
Taman Siswa mengadakan Rapat Besar (Konferensi) yang ke-9 di Yogyakarta. Tapi
pada masa kemerdekaan ini tidak semua guru Taman Siswa menyadari akan datang
juga masa baru untuk Perguruan nasional mereka. Dalam Rapat besar itu terdapat
tiga pendapat dikalangan Taman Siswa dalam menghadapi kemerdekaan. Pertama, pendapat bahwa tugas Taman Siswa telah selesai dengan tercapainya
Indonesia merdeka. Karena menurut pendukung pendapat ini, peran taman siswa
sebagai penggugah keinsafan nasional sudah habis, dan faktor melawan pemerintah
jajahan tidak ada lagi.
Kedua, Taman Siswa masih perlu ada, sebelum pemerintah Republik dapat
mengadakan sekolah-sekolah yang mencukupi keperluan rakyat. Lagi pula isi
sekolah-sekolah negeri pun belum dapat diubah sekaligus sebagai warisan sistem
pengajaran yang lampau.
Ketiga, sekolah-sekolah partikelir yang memang mempunyai dasar sendiri tetap
diperlukan, walaupun nantinya jumlah sekolah sudah cukup dan isinya juga sudah
nasional.
Perbedaan pendapat dikalang Taman Siswa
membawa dampak yang tidak bisa dielakan, para pendukung pendapat pertama banyak
yang meninggalkan Taman Siswa. Taman Siswa banyak ditinggalkan oleh pendukung
akatif yang tahan uji. Namun hal ini tidak mengherankan karena sebenarnya
orang-orang Taman Siswa hanya berpindah tempat mengisi kemerdekaan. Misal saja
bapak Taman Siswa sendiri, Ki Hajar Dewantara, pada awal kemerdekaan menjadi
Mentri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama didalam pemerintahan.
Bagi Taman Siswa sendiri yang terpenting ialah pembentukan panitia yang
berkewajiban meninjau kembalinya peraturan Taman Siswa dengan segala isinya.
Panitia ini diketuai oleh S. Manggoensarkoro dan kesimpiulan panitia ini
diterima dalam Rapat Besar Umum (Kongres) V di Yogyakarta pada bulan Desember
1947.
Pada masa itu, Belanda sudah memulai
aksi militernya yang pertama pada 21 Juli 1947, sehingga Rapat Besar Umum,
membahas tentang kedudukan cabang-cabang di daerah pendudukan. Di daerah
pendudukan Belanda muncul sebutan “sekolah liar” tapi tidak hanya sekolah
partikelir saja tapi sekolah republik pun dinyatakan “sekolah liar” ketika
sekolah di Jakarta ditutup, maka gedung Taman Siswa di jalan Garuda 25
dibanjiri oleh murid-murid. Semangat yang luar biasa ditunjukan oleh sekolah
Taman Siswa yang berada di daerah pendudukan, mereka berusaha mempertahankan
sekolah mereka meski Majelis Luhur di Yogyakarta tidak menyetujui diteruskanya
sekolah di daerah pendudukan. Tapi akhirnya majelis Luhur mengizinkan untuk
membuka terus cabang-cabang Taman Siswa di daerah pendudukan.
D. TAMAN SISWA SETELAH KEMERDEKAAN
Salah satu masalah yang dihadapi Taman
Siswa setelah kemerdekaan ialah meninjau kembali hubungan dengan pemerintah
kita sendiri, terutama dalam hal penerimaan subsidi. Di kalang perguruan
tinggi, banyak perbedaan dalam menghadapi masalah ini, yaitu mereka yang dapat
menerima subsidi itu dan digunakan untuk pengelolaan sekolah tapi tetap melihat
berapa besar pengaruhnya agar tidak menggangu prinsip “merdeka mengurus diri
sendiri” dan mereka yang beranggapan agar melepas sikap oposisi seperti pada
masa kolonial karena dianggap tidak cocok saat Indonesia merdea. Pada tahun
1946, sempat ada keterbukaan untuk menghadapi masa kemerdekaan untuk merumuskan
kembali sas dan dasar , namun dalam pelaksanaanya mengenai subsidi ini masih
banyak yang ingin memelihara keadaan seperti yang lalu.
Di kalangan para pemimpin sedikitnya
tedapat dua aliran. Yang pertama aliran yang memnginginkan Taman Siswa terlepas
dari sistem pendidikan pemerintah, merupakan lembaga pendidikan yang
independen, hidup dalam cita-citanya sendiri dan terus berusaha agar sebagian
masyarakat menerima konsep pendidikan nasional. Caranya ialah dengan tetap
mempertahankan sistem pondok yang relatif terasing dari masyarakat sekitarnya.
Aliran pemikiran yang kedua ialah mereka yang berpendapat bahwa perkembangan
masyarakat Indonesia baru sangat berbeda dengan keadaan zaman kolonial, oleh
karena perubahan perlu dihadapi dengan pemikiran baru. Taman Siswa dapat
menyumbangkan pengalaman dan keahlian untuk Menteri Pendidikan dalam usahanya
mengembangkan kebijaksanaan politik pendidikan nasional.