Menu

Selamat Datang di Blog Tamansiswa Cabang Sidomulyo

Fans Page

Rabu, 04 Desember 2013

Sejarah Perguruan Tamansiswa

logo tamansiswa




Tamansiswa adalah nama sekolah yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara ( Raden Mas Soewardi Soeryaningrat). Beliau mendirikan Taman Siswa bertujuan untuk pendidikan pemuda Indonesia dan juga sebagai alat perjuangan bagi rakyat Indonesia. Tujuan Taman Siswa adalah membangun anak didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur akal budinya, cerdas dan berketerampilan, serta sehat jasmani dan rohaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air, serta manusia pada umumnya. Meskipun dengan susunan kalimat yang berbeda namun tujuan pendidikan Taman Siswa ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.



A. BERDIRINYA TAMAN SISWA


Tamansiswa berdiri pada 3 Juli 1922, pendirinya adalah Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau yang biasa dikenal dengan Ki Hajar Dewantara. Awal pendirian Taman Siswa diawali dengan ketidakpuasan dengan pola pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial, karena jarang sekali negara kolonial yang memberikan fasilitas pendidikan yang baik kepada negara jajahannya. Seperti yang dikatakan oleh ahli sosiolog Amerika “pengajaran merupakan dinamit bagi sistem kasta yang dipertahankan dengan keras di dalam daerah jajahan”.
            Oleh sebab itu maka didirikanlah Taman Siswa, berdirinya Taman Siswa merupakan tantangan terhadap politik pengajaran kolonial dengan mendirikan pranata tandingan. Taman Siswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakan pendidikan dalam arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi Taman Siswa, pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah artinya tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dsb, sedangkan merdeka secara batiniah adalah mampu mengendalikan keadaan.

            Dengan proses berdirinya Taman Siswa Ki Hajar Dewantara telah mengesampingkan pendapat revolusioner pada masa itu, tetapi dengan seperti itu secara langsung usaha Ki Hajar merupakan lawan dari politik pengajaran kolonial. Lain dari pada itu kebangkitan bangsa-bangsa yang dijajah dan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial umumnya disebut dengan istilah nasionalisme atau paham kebangsaan menuju kemerdekaan. Taman Siswa mencita-citakan terciptanya pendidikan nasional, yaitu pendidikan yang beralas kebudayaan sendiri. Dalam pelaksanaanya pendidikan Taman Siswa akan mengikuti garis kebudayaan nasional dan berusaha mendidik angkatan muda di dalam jiwa kebangsaan. 

            Pendidikan Taman Siswa dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Dalam sistem ini setiap pendidik harus meluangkan waktu sebanyak 24 jam setiap harinya untuk memberikan pelayanan kepada anak didik sebagaimana orang tua yang memberikan pelayanan kepada anaknya.

            Sistem Among tersebut berdasarkan cara berlakunya disebut Sistem Tut Wuri Handayani. Dalam sistem ini orientasi pendidikan adalah pada anak didik, yang dalam terminologi baru disebut Student Centered. Di dalam sistem ini pelaksanaan pendidikan lebih didasarkan pada minat dan potensi apa yang perlu dikembangkan pada anak didik, bukan pada minat dan kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik. Apabila minat anak didik ternyata akan ke luar “rel” atau pengembangan potensi anak didik di jalan yang salah maka pendidik berhak untuk meluruskannya.
            Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Taman Siswa menyelanggarakan kerja sama yang selaras antar tiga pusat pendidikan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan perguruan, dan lingkungan masyarakat. Pusat pendidikan yang satu dengan yang lain hendaknya saling berkoordinasi dan saling mengisi kekurangan yang ada. Penerapan sistem pendidikan seperti ini yang dinamakan Sistem Trisentra Pendidikan atau Sistem Tripusat Pendidikan.
            Pendidikan Tamansiswa berciri khas Pancadarma, yaitu Kodrat Alam (memperhatikan sunatullah), Kebudayaan (menerapkan teori Trikon), Kemerdekaan (memperhatikan potensi dan minat maing-masing indi-vidu dan kelompok), Kebangsaan (berorientasi pada keutuhan bangsa dengan berbagai ragam suku), dan Kemanusiaan (menjunjung harkat dan martabat setiap orang).

B. REAKSI PEMERINTAH KOLONIAL TERHADAP TAMANSISWA

            Taman Siswa bisa dianggap sebagai tempat pemupukan kader masyarakat Indonesia dimasa mendatang dan yang sudah pasti akan berusaha pula untuk menumbangkan kekuasaan kolonial. Oleh karena itu pemerintah kolonial berusaha untuk menghalang-halangi perkembangan Taman Siswa khususnya, dan sekolah-sekolah partikelir umumnya. Sejak itu, Taman Siswa menghadapi perjuangan asasi, melawan politik pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1931 timbul pendapat dikalangan orang Belanda yang memperingatkan pemerintah, bahwa apabila tidak diadakan peninjauan kembali, Taman Siswa akan menguasai keadaan dalam tempo sepuluh tahun. 
            Pemerintah konservatif Gubernur Jenderal de jonge menyambut kegelisahan orang Belanda dengan mengeluarkan “ordonansi pengawasan” yang dimuat dalam Staatsblad no. 494 tanggal 17 September 1932. Isi dan tujuan dari ordonansi itu ialah memberi kuasa kepada alat-alat pemerintah untuk mengurus wujud dan isi sekolah-sekolah partikelir yang tidak dibiayai oleh negeri. Sekolah partikelir harus meminta izin lebih dahulu sebelum dibuka dan guru-gurunya harus mempunyai izin mengajar. Rencana pengajaran harus pula sesuai dengan sekolah-sekolah negeri, demikian juga peraturan-peraturannya. Ordonansi itu menimbulkan perlawanan umum dikalangan masyarakat Indonesia dan dimulai oleh prakarsa Ki Hajar Dewantara yang mengirimkan protes lewat telegram kepada Gubernur Jenderal di Bogor pada tanggal 1 Oktober 1932. 
          Pada tanggal 3 Oktober 1932 Ki Hajar Dewantara mengirimkan maklumat kepada segenap pimpinan pergerakan rakyat, dan menjelaskan lebih lanjut sikap yang diambil Taman Siswa. Aksi melawan ordonansi ini disokong sepenuhnya oleh 27 organisasi, antara lain Istri sedar, PSII, Dewan Guru Perguruan Kebangsaan di Jakarta, Budi Utomo, Paguyuban Pasundan, Persatuan Mahasiswa, PPPI, Partindo, Muhammadiyah, dan lain-lainnya. Golongan peranakan Arab dan Tionghoa juga menyokong aksi ini. Pers nasional tidak kurang menghantam ordonansi itu melalui tajuk rencananya. Mohammad Hatta sebagai pemimpin Pendidikan Nasional Indonesia, menganjurkan supaya mengorganisasi aksi yang kuat. Pada bulan Desember 1932, Wiranatakusumah, anggota Volksraad mengajukan pertanyaan pada pemerintah dan disusul pada bulan Januari 1933 dengan sebuah usul inisiatif. Usul inisiatif yang disokong oleh kawan-kawannya di Volksraad, berisi: menarik kembali ordonansi yang lama serta mengangkat komisi untuk merencanakan perubahan yang tetap. Budi Utomo dan Paguyuban Pasundan mengancam akan menarik wakil-wakilnya dari dewan-dewan, apabila ordonansi ini tidak dicabut pada tanggal 31 Maret 1933. Juga dikalangan para ulama aksi melawan ordonansi sekolah liar ini mendapat sambutan, terbukti dengan adanya rapat-rapat Persyarikatan Ulama di Majalengka dan Ulama-ulama Besar di Minangkabau. Pemerintah terkejut akan tekad perlawanan akan masyarakat Indonesia dan setelah mengeluarkan beberapa penjelasan dan mengadakan pertemuan dengan Ki Hajar Dewantara, akhirnya dengan keputusan Gubernur Jenderal tanggal 13 Februari 1933 ordonansi Sekolah liar diganti dengan ordonansi baru. 
            Perlawan Taman Siswa terhadap ordonansi sekolah liar merupakan masa gemilang bagi sejarahnya, yang juga berarti mempertahankan hak menentukan diri sendiri bagi bangsa Indonesia. Sesudah itu Taman Siswa akan mengadakan lagi perlawanan terhadap peraturan pemerintah kolonial yang dapat dianggap merugikan rakyat. Pada tahun 1935 Taman Siswa mempunyai 175 cabang yang tersebar di sekolahnnya ada 200 buah, dari mulai sekolah rendah hingga sekolah menengah. 



C. SIKAP TAMAN SISWA PADA REVOLUSI DAN INDONESIA MERDEKA

            Pada saat setelah Indonesia merdeka Taman Siswa mengadakan Rapat Besar (Konferensi) yang ke-9 di Yogyakarta. Tapi pada masa kemerdekaan ini tidak semua guru Taman Siswa menyadari akan datang juga masa baru untuk Perguruan nasional mereka. Dalam Rapat besar itu terdapat tiga pendapat dikalangan Taman Siswa dalam menghadapi kemerdekaan.          Pertama, pendapat bahwa tugas Taman Siswa telah selesai dengan tercapainya Indonesia merdeka. Karena menurut pendukung pendapat ini, peran taman siswa sebagai penggugah keinsafan nasional sudah habis, dan faktor melawan pemerintah jajahan tidak ada lagi.
Kedua, Taman Siswa masih perlu ada, sebelum pemerintah Republik dapat mengadakan sekolah-sekolah yang mencukupi keperluan rakyat. Lagi pula isi sekolah-sekolah negeri pun belum dapat diubah sekaligus sebagai warisan sistem pengajaran yang lampau.
Ketiga, sekolah-sekolah partikelir yang memang mempunyai dasar sendiri tetap diperlukan, walaupun nantinya jumlah sekolah sudah cukup dan isinya juga sudah nasional.
            Perbedaan pendapat dikalang Taman Siswa membawa dampak yang tidak bisa dielakan, para pendukung pendapat pertama banyak yang meninggalkan Taman Siswa. Taman Siswa banyak ditinggalkan oleh pendukung akatif yang tahan uji. Namun hal ini tidak mengherankan karena sebenarnya orang-orang Taman Siswa hanya berpindah tempat mengisi kemerdekaan. Misal saja bapak Taman Siswa sendiri, Ki Hajar Dewantara, pada awal kemerdekaan menjadi Mentri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama didalam pemerintahan. Bagi Taman Siswa sendiri yang terpenting ialah pembentukan panitia yang berkewajiban meninjau kembalinya peraturan Taman Siswa dengan segala isinya. Panitia ini diketuai oleh S. Manggoensarkoro dan kesimpiulan panitia ini diterima dalam Rapat Besar Umum (Kongres) V di Yogyakarta pada bulan Desember 1947. 
            Pada masa itu, Belanda sudah memulai aksi militernya yang pertama pada 21 Juli 1947, sehingga Rapat Besar Umum, membahas tentang kedudukan cabang-cabang di daerah pendudukan. Di daerah pendudukan Belanda muncul sebutan “sekolah liar” tapi tidak hanya sekolah partikelir saja tapi sekolah republik pun dinyatakan “sekolah liar” ketika sekolah di Jakarta ditutup, maka gedung Taman Siswa di jalan Garuda 25 dibanjiri oleh murid-murid. Semangat yang luar biasa ditunjukan oleh sekolah Taman Siswa yang berada di daerah pendudukan, mereka berusaha mempertahankan sekolah mereka meski Majelis Luhur di Yogyakarta tidak menyetujui diteruskanya sekolah di daerah pendudukan. Tapi akhirnya majelis Luhur mengizinkan untuk membuka terus cabang-cabang Taman Siswa di daerah pendudukan.


D. TAMAN SISWA SETELAH KEMERDEKAAN

            Salah satu masalah yang dihadapi Taman Siswa setelah kemerdekaan ialah meninjau kembali hubungan dengan pemerintah kita sendiri, terutama dalam hal penerimaan subsidi. Di kalang perguruan tinggi, banyak perbedaan dalam menghadapi masalah ini, yaitu mereka yang dapat menerima subsidi itu dan digunakan untuk pengelolaan sekolah tapi tetap melihat berapa besar pengaruhnya agar tidak menggangu prinsip “merdeka mengurus diri sendiri” dan mereka yang beranggapan agar melepas sikap oposisi seperti pada masa kolonial karena dianggap tidak cocok saat Indonesia merdea. Pada tahun 1946, sempat ada keterbukaan untuk menghadapi masa kemerdekaan untuk merumuskan kembali sas dan dasar , namun dalam pelaksanaanya mengenai subsidi ini masih banyak yang ingin memelihara keadaan seperti yang lalu.
            Di kalangan para pemimpin sedikitnya tedapat dua aliran. Yang pertama aliran yang memnginginkan Taman Siswa terlepas dari sistem pendidikan pemerintah, merupakan lembaga pendidikan yang independen, hidup dalam cita-citanya sendiri dan terus berusaha agar sebagian masyarakat menerima konsep pendidikan nasional. Caranya ialah dengan tetap mempertahankan sistem pondok yang relatif terasing dari masyarakat sekitarnya. Aliran pemikiran yang kedua ialah mereka yang berpendapat bahwa perkembangan masyarakat Indonesia baru sangat berbeda dengan keadaan zaman kolonial, oleh karena perubahan perlu dihadapi dengan pemikiran baru. Taman Siswa dapat menyumbangkan pengalaman dan keahlian untuk Menteri Pendidikan dalam usahanya mengembangkan kebijaksanaan politik pendidikan nasional. 

Sumber : Seberkas Sejarah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar